Label Pangan: Konsumsi Berlebihan Mempunyai Efek Laksatif

Kemarin, saya pergi jalan-jalan ke satu supermarket  yang masih tergolong baru di kota tempat saya tinggal. Lalu, saya menemukan satu wajah ...

Tampilkan postingan dengan label racun. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label racun. Tampilkan semua postingan

Senin, 18 September 2023

Biang Kerok Wabah Keracunan di Zaman Belanda



Tempe bongkrek merupakan produk pangan fermentasi yang berasal dari daerah Purwokerto Banyumas, Jawa Tengah. Konon , sekitar tahun 1895, tempe yang memiliki 119 kalori (Ekosapto, 1975 dalam Kartiko) digemari oleh Masyarakat. Selain itu, produk fermentasi yang terbuat dari kombinasi bungkil, ampas kelapa dan residu santan ini banyak membuat keracunan warga sekitar, sehingga menjadi wabah di tahun 1895 (Setiawan, 2020). Dengan regulasi yang pemerintah susun, korban keracunan ini dapat ditekan. Semula 7216 menjadi 37 korban.Tujuan dari tulisan ini, yaitu memberikan informasi seputar tempe bongkrek

.

Dahulu, tempe bongkrek dibuat dan dikonsumsi karena harganya yang bersahabat. Selain itu, masyarakat di sana pun sering membuat tempe bongkrek secara mandiri. Akan tetapi, pengetahuan dan pengalaman masyarakat di dalam mengolah tempe jenis ini belum mumpuni. Oleh karenanya, tempe bongkrek yang sudah diolah, tidak sepenuhnya aman untuk dikonsumsi,  dicirikan dengan warna kekuningan dan transparan di sekitar permukaan tempe bersamaan dengan adanya asam bongkrek dan toksoflavin di dalamnya. Selain itu, racun tersebut tidak mempengaruhi aspek sensori dari tempe itu sendiri, dari segi aroma, dan rasa.  


Kedua senyawa beracun tersebut berasal dari mikroorganisme Burkholderia gladioli pathovar cocovenenans (Ghaffar, 2023) yang menyukai pangan berlemak. Asam bongkrek dikatakan jauh lebih toksik dibandingkan dengan toksoflavin. Asam bongkrek memiliki sifat yang tahan panas sehingga tidak berkurang ketika dimasak dan digoreng (Ghaffar, 2023) serta perusak cadangan glikogen di hati dan jantung. Diketahui bahwa empat jam setelah konsumsi tempe bongkrek beracun ini akan berakibat koma dan delapan jam setelahnya berakibat fatal. Sedangkan, toxoflavin mampu menghemolisis sel darah merah. Gejala-gejala yang ditimbulkan mirip dengan keracunan lainnya, yaitu pusing, mual, sakit perut, sesak nafas, sulit menelan, muntah. 


Sesungguhnya, telah diteliti banyak cara untuk mengurangi resiko kontaminasi, menghambat bakteri, dan akumulasi asam bongkrek, yaitu dikombinasikan dengan daun calincing, asam asetat, ditambahkan NaCl hingga tiga persen, dan pengeringan.  Daun calincing atau Oxalis barrelieri dapat membuat suasana fermentasi menjadi asam, sehingga B. cocovenans bisa dihambat pertumbuhannya dilengkapi dengan asam oksalat. Menjaga suhu fermentasi, higienitas, dan penyimpanan merupakan hal yang wajib dalam proses fermentasi. Bagaimanapun, produksi tempe bongkrek ini telah dibatasi semenjak tahun 1962 oleh pemerintah Indonesia.


Berdasarkan PT/PKP/06/08/1960 tanggal 22 Agustus 1960 telah dikeluarkan larangan sama sekali membuat tempe bongkrek akan tetapi, lambat laun ada beberapa peraturan tambahan Pangdam VII tahun 1961 dengan upaya pembatasan produksi. Pembatasan tersebut berisikan dua poin, yaitu dalam membuat tempe bongkrek harus ditambahkan dengan ekstrak daun calincing. Selain itu, dalam membuat tempe bongkrek harus melewati berbagai macam pelatihan terlebih dahulu yang akan mendapatkan surat keterangan dari daerah dan perlu disupervisi. Saat ini, tempe bongkrek masih diolah dan diinovasikan oleh warga Cilacap, Banyumas (Merdeka, 2021). Lebih sedap bila dikombinasikan dengan petai dan udang.   


Terima kasih telah membaca.
Semoga bermanfaat.  


Daftar Pustaka

Ghaffar, M. (2023). Asam bongkrek, toksin bakteri dari tempe bongkrek. Nutrition Scientific Journal, 2(1), 73-80.

Kartiko, L. Tinjauan Pustaka. https://repository.ump.ac.id/2816/3/BAB%20II_LINTANG%20KARTIKO%20ASIH_FARMASI%2717.pdf  Diakses tanggal 18 September 2023. Pukul 20:29. 

Merdeka. (2021). Mengenal Bongkrek, Tempe Khas Banyumas yang PIcu Keracunan Massal di Zaman Belanda. https://www.merdeka.com/histori/mengenal-bongkrek-tempe-khas-banyumas-yang-picu-keracunan-massal-di-zaman-belanda.html. Diakses tanggal 18 September 2023. Pukul 20:29. 

Setiawan, A. (2020). Petaka Tempe Bongkrek. https://historia.id/kultur/articles/petaka-tempe-bongkrek-vx2ro/page/1. Diakses tanggal 18 September 2023

Peratuan Daerah (1963). Lemabaran Daerah Djawa Tengah. https://jdih.jatengprov.go.id/produk_hukum/perda/perda_6_th_1962.pdf Diakses tanggal 18 September 2023. Pukul 20:29. 



Jumat, 15 September 2023

Mengusir Racun Sianida yang ada di Singkong, bagaimana caranya?

Source: Liputan6.com

Singkong merupakan bahan pangan dari golongan umbi-umbian. Sebesar 47% ubi kayu bisa disulap dan dimanfaatkan sebagai kudapan dan makanan pokok (Ginting & Widodo, 2013). biasanya dijadikan keripik, kudapan dan tepung. Selain itu, umbi-umbian ini bisa diolah dengan cara digoreng, direbus, dikukus, juga difermentasi. 


Masyarakat Indonesia bergantung pada singkong tertulis pada Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementrian Pertanian dari tahun 2015 hingga 2019, produksi singkong berlimpah di Indonesia mencapai 19.386.754 ton. Singkong sering dijadikan bahan pangan pendukung  diversifikasi pangan.


Sesungguhnya, singkong memiliki beberapa manfaat yang baik untuk tubuh, yaitu polifenol berfungsi sebagai antioksidan (Zekarias dkk., 2019), zat besi, magnesium, dan kalsium (Bayata, 2019). Namun, singkong termasuk tumbuhan  memiliki kandungan asam sianida yang merugikan tubuh. Sebab, umbi singkong termasuk hasil panen yang dapat mengalami sianogenesis, yaitu bisa membentuk sianida dan berasal dari tumbuhan golongan sianogen (McMahon, 1995).


Sianogen glukosida yang terkandung dalam umbi singkong salah satunya ialah linamarin (Dhas, 2011). Belum lagi, kandungan yang berada di dinding sel tersebut dapat menghasilkan asam sianida. Yang menjadi bahaya, ketika proses pemecahan linamarin (hidrolisis) menjadi asam sianida, terjadi di dalam tubuh (Mkpong dkk., 1990). 


Mushumbusi (2020) berhasil meneliti 66 jenis singkong mentah dapat menghasilkan sianida sebanyak   20 - 227 mg/kg. Menurut FAO (1997) batas sianida yang dapat ditolerir tubuh hanya  sebatas 10 mg /kg.   Hal ini benar-benar membuktikan bahwa singkong tidak bisa dikonsumsi dalam keadaan yang mentah. Tingginya kandungan sianida juga dapat membuat singkong terasa sangat pahit. (Muleta & Mohammed, 2017)


Jika dikonsumsi dengan kadar melebihi batas yang telah ditentukan, maka dapat menyebabkan gejala seperti mual, muntah, sakit perut, diare, kehilangan penglihatan dan pendengaran, lemas,  hingga  kematian (Mushumbusi, 2020).  


Menilik masa lalu, telah terjadi kasus keracunan terjadi di Indonesia. Pada tahun 2011, terkonfirmasi bahwa konsumsi tiwul, yaitu salah satu makanan tradisional pendukung diversifikasi pangan terbuat dari singkong dapat membuat enam meninggal dunia, karena terbukti positif keracunan sianida.  


 Sesungguhnya, dalam batas tertentu sianida dapat diolah oleh tubuh menjadi tiosianat yang lebih aman. Akan tetapi, dalam Jurnal Lingkungan & Pembanguna, Wicaksana tahun 2017, asam sianida berlebih dan menumpuk dapat berpotensi keracunan sianida yang menimbulkan efek negatif, yaitu mengurangi kekuatan otot jantung, dani daya angkut oksigen di dalam darah.  Perlu di ingat bahwa sianida masuk ke dalam tubuh dengan berbagai cara, yaitu dikonsumsi langsung, dihirup, dan dikenakan dengan kulit.


Oleh karenanya, diperlukan pemahaman mengenai langkah  yang tepat untuk mengurangi kandungan sianida pada umbi singkong sebelum diolah lebih lanjut. Menurut FAO, berikut dua cara untuk mengurangi kandungan sianida pada umbi singkong.  


  1. Pengupasan


Dalam artikelnya, FAO menegaskan bahwa kandungan sianida glukosida seperti linamarin tertinggi didapatkan pada kulitnya. Oleh karena itu, ada baiknya membuang “cikal bakal” terlebih dulu sebelum diolah. Pengupasan berguna untuk membuang bagian yang tidak dikonsumsi, kotoran, serta mengurangi bakteri yang menempel. Alat yang digunakan untuk mengupas kulit singkong wajib bebas karat. 


  1. Perendaman


Singkong yang telah dikupas dan dipotong, perlu direndam dengan air selama satu hingga tiga hari. Setelah pengupasan dan pemotongan, enzim linamarase yang ada di dinding sel berpotensi bercampur dengan linamarin karena dinding sel yang mengalami kerusakan (Andama dkk., 2017). Akan lebih baik, bila singkong diparut terlebih dahulu agar linamarin dan enzim linamarase tersembunyi di dalam sel dapat terkeluarkan. 


Saat perendaman, singkong menyerap air perlahan dan proses pelepasan sianida dari linamarin dengan bantuan enzim berlangsung tahap demi tahap, kemudian menghasilkan hidrogen sianida. Sianida tersebut akan terlarut dengan air ditandai dengan munculnya banyak buih setelah perendaman karena senyawa tersebut mudah menguap di suhu ruang, sekitar 25,7 °C dan terlarut dalam air.  Ginting & Widodo (2013) ikut menyarankan untuk mengganti air rendaman singkong  sebelum singkong diolah. 


Saran dan Kesimpulan

Bukan berati tulisan ini untuk membuat menakut-nakuti makan tiwul ya. Justru bagus ko, dengan mengonsumsi tiwul teman-teman membantu Negara sendiri untuk tidak tergantung pada beras dan mendukung program diversifikasi pangan. Maksud saya supaya para pelaku UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah), kafe,  pabrik, ibu-ibu dan bapak-bapak  boleh ikut prihatin dengan bahan pangan unik satu ini terutama sebelum diolah. Perlakuan singkong sebelum diolah dengan langkah yang tepat dapat membuat kita menjadi lebih merasa aman dan nyaman. 



Daftar pustaka


Andama, M., Lejju, J. B., & Oloya, B. (2017). Potential of soaking and sun-drying in detoxifying toxic cassava root tubers.


Asano, Y. (2007). Chapter 7 - Enzymes in aldoxime-nitrile pathway: versatile tools in biocatalysis. https://www.sciencedirect.com/topics/agricultural-and-biological-sciences/cyanogenesis#:~:text=On%20the%20other%20hand%2C%20cyanogenesis,attack%20by%20fungi%20and%20predators.


Azmi, M. & Farid, A. (2019) Cyanogenic Glycosides in Cassava. PhD thesis, University of Leeds. https://etheses.whiterose.ac.uk/26731/


Bayata, A. (2019). Review on nutritional value of cassava for use as a staple food. Sci J Anal Chem, 7(4), 83-91.


Bolarinwa, I. F., Oke, M. O., Olaniyan, S. A., & Ajala, A. S. (2016). A review of cyanogenic glycosides in edible plants. Toxicology–New Aspects to This Scientific Conundrum.


Cahyawati, P. N. (2017). Keracunan Akut Sianida. WICAKSANA: Jurnal Lingkungan dan Pembangunan, 1(1), 80-87.


Dhas, P. K., Chitra, P., Jayakumar, S., & Mary, A. R. (2011). Study of the effects of hydrogen cyanide exposure in Cassava workers. Indian Journal of occupational and environmental medicine, 15(3), 133.


FAO. (2013). PROPOSED DRAFT CODE OF PRACTICE TO REDUCE THE PRESENCE OF HYDROCYANIC ACID IN CASSAVA AND CASSAVA PRODUCTS. https://www.fao.org/fao-who-codexalimentarius/sh-proxy/en/?lnk=1&url=https%253A%252F%252Fworkspace.fao.org%252Fsites%252Fcodex%252FShared%2BDocuments%252FArchive%252FMeetings%252FCCCF%252Fcccf7%252Fcf07_11e.pdf 


Firdaus, I. (2023). Kisah Jessica dan Mirna, Persahabatan yang Berakhir Kematian di Gelas Es Kopi Vietnam. https://www.kompas.tv/nasional/365280/kisah-jessica-dan-mirna-persahabatan-yang-berakhir-kematian-di-gelas-es-kopi-vietnam?page=all


Ginting, E & Widodo, Y. (2013). Cyanide reduction in cassava root products through processing and selection of cultivars in relation to food safety.


Kementrian Pertanian. (2020). Outlook Ubi Kayu Komoditas Pertanian Subsektor Tanaman Pangan. https://satudata.pertanian.go.id/assets/docs/publikasi/Outlook_Komoditas_Tanaman_Pangan_Ubi_Kayu_Tahun_2020.pdf


Khumaesi, A. (2012. Singkong Bisa Jadi Pengganti Beras, Mungkinkah?

https://news.republika.co.id/berita/m2lyxy/singkong-bisa-jadi-pengganti-beras-mungkinkah


Kuete, V. (2014). Health effects of alkaloids from African medicinal plants. In Toxicological survey of African medicinal plants (pp. 611-633). Elsevier.


McMahon, J. M., White, W. L., & Sayre, R. T. (1995). Cyanogenesis in cassava (Manihot esculenta Crantz). Journal of experimental Botany, 46(7), 731-741.


Mkpong, O. E., Yan, H., Chism, G., & Sayre, R. T. (1990). Purification, characterization, and localization of linamarase in cassava. Plant physiology, 93(1), 176-181.


Muleta, F., & Mohammed, A. (2017).  Determination of Cyanide Concentration Levels in Different Cassava Varieties in Selected Iodine Deficiency Disordered (IDD) Areas of Wolaita Zone, Southern Ethiopia.


Muntoha, M. (2015). Pelatihan Pemanfaatan Dan Pengolahansingkongmenjadi Makanan Ringan Tela Rasa. Asian Journal of Innovation and Entrepreneurship (AJIE), 4(03), 188-193.


Mushumbusi, C. B., Max, R. A., Bakari, G. G., Mushi, J. R., & Balthazary, S. T. (2020). Cyanide in cassava varieties and people's perception on cyanide poisoning in selected regions of Tanzania. Journal of Agricultural Studies, 8(1), 180.


Rahmawati, F. DIVERSIFIKASI OLAHAN SINGKONG DAN PISANG. https://staffnew.uny.ac.id/upload/132296048/pengabdian/diversifikasi-olahan-singkong-dan-pisang.pdf


Setyadi, A. (2021). Keracunan Singkong Bakar, Bocah 2 Tahun di Aceh Meninggal Dunia. https://news.detik.com/berita/d-5661689/keracunan-singkong-bakar-bocah-2-tahun-di-aceh-meninggal-dunia


Tempo. (2020). Enam Tewas Keracunan Asam Sianida Pada Tiwul 

https://nasional.tempo.co/read/307074/enam-tewas-keracunan-asam-sianida-pada-tiwul


Tim Haluan Riau. (2021). Ternyata Singkong Ada yang Mengandung Sianida Berbahaya, Kenali Ciri Cirinya DAN Cara Mengobatinya

https://riau.harianhaluan.com/opini/pr-111285648/ternyata-singkong-ada-yang-mengandung-sianida-berbahaya-kenali-ciri-cirinya-dan-cara-mengobatinya


Zekarias, T., Basa, B., & Herago, T. (2019). Medicinal, nutritional and anti-nutritional properties of Cassava (Manihot esculenta): a review. Academic Journal of Nutrition, 8(3), 34-46.