#edisikulinernusantara
Nasi Jamblang atau dalam bahasa Cirebon disebut juga Sega Jamblang. Terdiri dari kata "Sega" berarti nasi dan "Jamblang", berasal dari desa Jamblang, Kabupaten Cirebon. Sega Jamblang telah menjadi suatu ikon Kuliner di daerah Cirebon dan telah dikenal baik di beberapa daerah yaitu Bandung, Jakarta dan sekitarnya.
Berdasarkan pengamatan Susilawati dkk. (2016) sesungguhnya terdapat 40 varian lauk yang terdapat di sega Jamblang, terdiri dari lauk kering yaitu telur goreng, tempe/tahu goreng, ikan asin, dan lauk basah yaitu semur, sambal. Kedua lauk tersebut tersedia berukuran relatif kecil dan disajikan dalam bentuk prasmanan sehingga dapat diambil sendiri, sedangkan nasi yang dikomersialkan, dikemas dengan menggunakan daun Jati.
Daun jati digunakan sebagai pengemas karena memiliki beberapa keuntungan, yaitu kuat, memiliki komponen bioaktif yang secara tidak langsung bermanfaat untuk kesehatan, memiliki pori-pori yang dapat membuat nasi tetap awet dan pulen selama tiga hari disimpan. Selain itu, piring yang digunakan ketika mengonsumsi nasi Jamblang dialasi dengan daun jati yang bertujuan untuk memberikan aroma yang diduga dapat meningkatkan nafsu makan.
![]() |
Nasi Jamblang https://sweetrip.id/wp-content/uploads/2021/10/resep-nasi-jamblang.jpeg |
2. Kebudayaan Sega Jamblang
Zaman dahulu, di Cirebon terdapat pelabuhan yang berperan sebagai pusat perdagangan dan banyak penjual yang berasal dari berbagai etnik, yaitu Arab, Tionghoa, Jawa, Sunda dan India. Oleh karena itu, menu-menu yang terdapat dalam sega jamblang dipengaruhi oleh interaksi kebudayaan antar etnik dan menjadi semakin terintegrasi. Uniknya, menu-menu yang disajikan, akan menjadi lebih serasi apabila dikombinasikan satu dengan yang lain.
Misalnya, perkedel kentang yang diduga dari proses pembuatan, bahan dan bumbu dipengaruhi oleh kebudayaan Tionghoa cocok dikombinasikan dengan sambal goreng yang dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa dan Sunda.
Selain itu, apabila dikombinasikan dengan rendang kecap yang dipengaruhi oleh kebudayaan Padang dan Arab juga tidak kalah nikmat. Hal ini diperkuat oleh Habsari (2007) yang menyatakan bahwa nasi jamblang dikonsumsi bersama dengan lima macam lauk.
![]() |
Nasi jamblang Sumber: https://media.suara.com/pictures/970x544/2019/04/18/36478-nasi-jamblang-instagram-ina-koesoema.jpg |
3. Sejarah Sega Jamblang
Berdasarkan beberapa sumber, dikatakan bahwa sega jamblang sudah ada sekitar tahun 1753 saat Perang Kedondong, tahun 1809 saat pembangunan jalan Anyer-Panarukan dan tahun 1847 saat pembangunan pabrik gula.
Di tahun tersebut, sega Jamblang dikonsumsi oleh para karyawan dan terdapat satu warga Pribumi, yaitu H. Arief Latif beserta istrinya yaitu Tan Piauw Lun atau akrab dipanggil Nyonya Pulung, membagikan sega jamblang karena rasa iba kepada karyawan tersebut. Lambat laun, sega jamblang dikenal luas oleh beberapa kalangan hingga luar kabupaten Cirebon serta Nyonya Pulung mendirikan usaha sega jamblang. Dahulu, sega jamblang hanya memiliki tujuh lauk yaitu dendeng laos, kebuk goreng (paru), sambal goreng, tempe dan tahu goreng, sayur tahu, dan ikan asin panjelan (cucut) (Mustajah, 2017).
4. Filosofi Sega Jamblang
Berdasarkan pernyataan Prof. Murdijati Gardjito, peneliti di Pusat Kajian Makanan Tradisional yang dikutip dari Jurnal Conference on Public Administration and Society (2019) dikatakan bahwa konsumsi sega jamblang ini mengajarkan kepada kita semua mengenai arti Kejujuran, karena pembeli mengutamakan kejujuran dalam melakukan perhitungan terhadap jumlah setiap lauk yang dikonsumsi. Selain itu, bagi penjual perlu menerapkan harga yang tidak melampaui batas dan menghitung dengan harga yang sesuai.
Bahtiyar & Fahmi (2017) menambahkan bahwa Sega Jamblang mengajarkan kepada kita nilai Kebaikan, diduga sebaiknya kita tetap tulus dalam melalukan sesuatu dan Keadilan, yaitu setiap kalangan masyarakat (tidak memandang kasta), berhak mengambil lauk yang terdapat pada sega jamblang yang disajikan secara prasmanan.
Apabila mengunjungi Cirebon, silahkan singgah sebentar dan jadualkan pengingat, untuk mencoba sega jamblang, ya...:)
Selalu ingat akan nilai-nilai Kejujuran, Kebaikan dan Keadilan yang "bersumber" dari satu porsi sega Jamblang ini.
1. Bahtiyar, A. Y., & Fahmi, A. U. (2017) Analisis Historis dan Filosofis Makanan Tradisional Khas Cirebon dalam Perspektif Multi-Etnik. PLURALISME, MULTIKULTURALISME, 91
2. Habsari R. (2007). Info Boga Jakarta. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
3. Indrayana, Y., & Yuniningsih, T. (2019). SEGA JAMBLANG, ICON KULINER PENGEMBANGAN PARIWISATA KOTA CIREBON (DALAM PERSPEKTIF SEJARAH). In Conference on Public Administration and Society (Vol. 1, No. 01).
4. Mustajab. (2017). Koki Kumis dan Lima Cerita Kuliner. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Jakarta
5. Susilawati, S., Fikriyah, F., & Saefudin, A. (2016). Science education based on Cirebon local culinary food. Umran-International Journal of Islamic and Civilizational Studies, 3(3-1).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar