Label Pangan: Konsumsi Berlebihan Mempunyai Efek Laksatif

Kemarin, saya pergi jalan-jalan ke satu supermarket  yang masih tergolong baru di kota tempat saya tinggal. Lalu, saya menemukan satu wajah ...

Kamis, 14 April 2022

Penyebab Pisang Mudah Rusak

Berdasarkan World Atlas (2020) yang dikutip dari liputan6.com, pisang merupakan buah terpopuler kedua setelah buah tomat. Pisang memiliki banyak kandungan kalium, yang berguna untuk mempertahankan imunitas dan kebugaran tubuh. Selain itu, berdasarkan penelitian Revelo-Cáceres (2020) telah dibuktikan bahwa pisang merupakan salah satu agen yang dapat membuat minuman  selada Romaine menajdi lebih disukai.  Pisang merupakan buah yang cepat rusak. Hustiany & Rahmi (2020) berpendapat bahwa pisang kepok memiliki umur simpan yang relatif pendek, sedangkan pisang cukup banyak diminati oleh masyarakat, serta memiliki produktivitas yang tinggi, yaitu 696,689-883,394 kuintal/tahun dari tahun 2012 hingga 2017. Beberapa penyebab pisang menjadi rusak, yaitu:


1. Kadar air yang tinggi

Tidak hanya semangka dan melon. Ternyata, pisang merupakan buah yang mudah rusak. Hal ini disebabkan oleh kadar air yang tinggi.  Hapsari & Lestari (2016) bahwa kadar air pada pisang Indonesia berkisar antara 62,01-80,94%.  Selain itu, pisang memiliki aktivitas air yang tinggi berkisar antara 0.987–0.964  (Schmidt & Fontana, 2020). Teori ini diperkuat oleh Sperber (1983) yang mengatakan bahwa pengurangan aktivitas air berdampak sangat drastis pada pertumbuhan bakteri. Semakin rendah aktivitas air, maka semakin tinggi bakteri tersebut menjadi inaktif atau mati. 


2. Termasuk buah klimaterik 

Buah klimaterik adalah buah yang masih bisa mengalami proses pematangan secara cepat setelah panen. Namun, sesungguhnya pisang dipetik ketika matang yang ditandai dengan kulit yang berwarna hijau agar mencapai proses masak di tangan konsumen. Selama proses pematangan berlangsung, terdapat gas etilen yang bersumber dari pisang itu sendiri yang dapat mempercepat kematangan pisang.  Apabila tidak dikendalikan, maka akan menyebabkan kebusukan. Teori ini didukung oleh Arti & Manurung (2020) mengemukakan bahwa buah klimaterik pada saat proses ripening lebih besar dibandingkan dengan buah non-klimaterik. Hal ini dikarenakan gas etilen dapat menyebabkan enzim-enzim, yaitu selulase dan klorofilase menjadi sangat aktif, sehingga berkontribusi terhadap pelunakan struktur dinding sel dan perubahan warna buah yang tidak diinginkan. 

Gambar 1. Buah klimaterik dan non klimaterik
Sumber: University of Maryland Extension

3. Adanya memar 

Pisang dapat menjadi memar, ketika terbentur ataupun jatuh selama pengiriman. Pengiriman di jalan yang berbatu / bergelombang, serta kapasitas penampungan truk yang overload dapat memicu memar pada buah (Kuyu & Tola, 2018). Selain itu, buah juga dapat memar ketika adanya vibrasi, dan kompresi.  Memar pada buah bisa saja dapat memicu fungal infection dan membuat buah tersebut menjadi berjamur. Umumnya, jamur yang dapat tumbuh pada pisang yaitu Collectotrichum musae dan Fusarium spp. Fernando & Stanley (2019)  juga mengemukakan bahwa memar dapat memicu reaksi pencoklatan pada pisang dan dapat meningkatkan aktivitas enzim yang dapat menurunkan kualitas warna serta melunakkan tekstur dinding sel. Tanda-tanda memar pada pisang ditandai dengan adanya warna kecokelatan di bagian pundak dan leher pisang. 

Gambar 2. Memar pada pisang
Sumber: Cookist

4. Tempat penyimpanan yang tidak sesuai

Tempat penyimpanan yang kotor, artinya penuh dengan serangga, tidak memiliki pengaturan humidity dan  suhu, serta tempat penyimpanan buah yang setengah busuk dan segar yang tidak dipisah. Adanya hal ini dapat menyebabkan cross contamination, yang dapat menurunkan kualitas pisang. Suhu gudang penyimpanan perlu dikendalikan. Menurut Mohapatra (2010) menyimpan pisang di suhu dingin adalah hal yang tidak disarankan, karena menurutnya pisang sangat sensitif terhadap perubahan temperatur. Misalnya, pada saat suhu dibawah 10 derajat celcius, pisang mengalami chilling injury, yang ditandai dengan munculnya bintik cokelat di bagian kulit pisang


Gambar 3. Chilling injury pada pisang
Sumber: student-activity.binus.ac.id

Apabila disimpan di suhu di atas 30 derajat celsius,  maka akan menurunkan produksi etilen dan membuat warna pisang menjadi tidak merata. Oleh karena itu, tempat penyimpanan pisang yang ideal adalah 13 hingga 14 derajat celsius saat transportasi. Tempat penyimpanan yang terlalu lembab (diatas 95%)  akan menyebabkan pektin menjadi rusak sehingga kulit pisang menjadi rusak. Oleh karena itu, akan lebih baik dalam menyimpan pisang dalam tingkat kelembapan yang lebih rendah. Tingkat kelembapan yang lebih rendah akan membuat produksi etilen dan respirasi buah lebih terkendali. 


DAFTAR PUSTAKA


Arti, I. M., & Manurung, A. N. H. (2020). Pengaruh Etilen Apel dan Daun Mangga Pada Pematangan Buah Pisang Kepok (Musa paradisiaca formatypica). Jurnal Pertanian Presisi (Journal of Precision Agriculture), 2(2), 77-88.


Barth, M., Hankinson, T. R., Zhuang, H., & Breidt, F. (2009). Microbiological spoilage of fruits and vegetables. In Compendium of the microbiological spoilage of foods and beverages (pp. 135-183). Springer, New York, NY.


Dahlia, A., Haryanto, A., & Suhandy, D. (2016). Studi Penggunaan KMno4 untuk Memperpanjang Umur Simpan Pisang Muli. Jurnal Teknik Pertanian Lampung, 5(2), 67-72.


Fernando, I., Fei, J., Stanley, R., & Enshaei, H. (2019). Assessment and characterizing mechanical damage in packaged bananas in the post-harvest supply chain. In MATEC Web of Conferences (Vol. 296, pp. 1-10). EDP Sciences.


Hapsari, L., & Lestari, D. A. (2016). Fruit characteristic and nutrient values of four Indonesian banana cultivars (Musa spp.) at different genomic groups. AGRIVITA, Journal of Agricultural Science, 38(3), 303-311.


Hustiany, R., & Rahmi, A. (2020). UPAYA MEMPERTAHANKAN UMUR SIMPAN PISANG KEPOK DENGAN KEMASAN AKTIF BERBAHAN ARANG AKTIF CANGKANG KELAPA SAWIT. Jurnal Teknologi Industri Pertanian, 30(2).


Kuyu, C. G., & Tola, Y. B. (2018). Assessment of banana fruit handling practices and associated fungal pathogens in Jimma town market, southwest Ethiopia. Food science & nutrition, 6(3), 609–616. https://doi.org/10.1002/fsn3.591


Mohapatra, D., Mishra, S., & Sutar, N. (2010). Banana post harvest practices: Current status and future prospects-A review. Agricultural Reviews, 31(1).


Revelo-Cáceres, D., Oliveras-López, M. J., Villalón-Mir, M., Navarro-Alarcón, M., & de la Serrana, H. L. G. (2020). Development of an Infusion Based on Romaine Lettuce and Banana for Treating Insomnia. Agricultural Sciences, 11(06), 529.


Sperber, W. H. (1983). Influence of water activity on foodborne bacteria—a review. Journal of Food Protection, 46(2), 142-150.


Schmidt, S. J., & Fontana Jr, A. J. (2020). E: Water Activity Values of Select Food Ingredients and Products. Water activity in foods: Fundamentals and applications, 573-591.


https://www.liputan6.com/global/read/4369156/ini-8-buah-terpopuler-di-dunia-mana-favoritmu. Diakses tanggal 14 April 2022. Pukul 22:05. 


http://p2ptm.kemkes.go.id/artikel-sehat/khasiat-dan-manfaat-pisang#:~:text=Buah%20pisang%20kaya%20akan%20vitamin,bagi%20tubuh%20untuk%20tetap%20bugar. Diakses tanggal 14 April 2022. Pukul 22:05.